Hargai Saat Anak Berbicara
Janet Levine dalam bukunya Know Your Parenting Personality mengatakan bahwa komunikasi merupakan alat terpenting bagi orang tua kepada anaknya. Tetapi cara berkomunikasi orang tua malah bisa membuat anak menjauh dari komunikasi itu sendiri.
Apa pasal? Sebab orang tua belum memahami betul karakter anak. Lalu disangkanya si anak mempunyai pikiran dan perasaan yang sejalan dengannya. Sehingga apapun yang orang tua katakan dan ungkapkan dengan mudah dapat diterima dan dipahami oleh anak.
Padahal sebaliknya, bisa jadi saat anak ingin berbicara, mengungkapkan pikirannya, atau ingin berkomentar tentang suatu hal, tetapi orang tua tidak meresponnya dengan baik. Dianggapnya celotehan anak hanya sebuah omongan tak bermakna dan tidak perlu digubris muatannya. Atau bahkan ada orang tua yang langsung menyetop pembicaraan anaknya dengan dalih bahwa dia tidak punya waktu untuk mendengarkan ceritanya yang tidak bermutu. Sudah, jangan bicara saja, pekerjaan rumahmu belum selesai! Mungkin itu ucapan yang sering dilontarkan orang tua. Atau juga, Kemarin kan sudah cerita tentang itu, sudah tidak usah cerita lagi!
Semua anak ingin dihargai. Dan salah bentuk penghargaan yang dapat kita berikan adalah menghargai apa yang ingin disampaikannya. Sebab apa yang dikatakan anak adalah ungkapan dari perasaannya. Dan jika perasaannya sudah diterima orang tua, maka dia pun dapat menerima perasaan orang tua yang ingin menyampaikan sesuatu kepadanya.
Sementara itu dalam How To Talk So Kids Will Listen and Listen So Kids Will Talk, Adele Faber dan Elaine Mazlish memberi panduan berikut:
Dari pada hanya setengah-setengah saja dalam mendengarkan anak, dengarkanlah apa yang ingin disampaikannya dengan perhatian yang penuh. Seringkali simpati kita yang diam tapi penuh perhatian tersebut malah yang dibutuhkan anak saat itu.
Dari pada pertanyaan dan anjuran yang panjang dan melelahkan, gunakan kata Oh, begitu atau Ya, ibu tahu saat mereka membicarakan sesuatu. Perkataan demikian yang disertai dengan kepedulian penuh akan mengundang anak untuk terus mengeksplorasi pikiran dan perasaannya, bahkan mungkin dapat untuk menemukan solusi dari masalah yang ia ceritakan.
Dari pada menolak perasaannya, berikan nama pada perasaan yang ingin disampaikan. Karena terkadang anak-anak tidak tahu tentang perasaan dan emosi yang ada di dalam dadanya. Semisal jika dia dalam keadaan bosan, dan dia mengungkapkannya dengan bahasanya sendiri yang diulang-ulang. Katakan saja, Ibu tahu kamu sudah sangat jenuh.
Dari pada penjelasan panjang lebar dan jawaban logis, berikan saja perkataan pada anak sesuai dengan harapannya. Misalkan jika anak berkata dalam keadaan sedikit uring-uringan mengapa pisang yang dibeli masi sepat. Maka tidak tepat jika kita membeberkan penjelasan logis bahwa pisang mempunyai waktu tertentu untuk bisa masak dan tidak sepat. Terlebih ketika mengunduhnya dalam keadaan mentah, lalu diproses dengan karbit. Tetapi cukup katakan, Saya sebenarnya juga berharap kalau pisang itu bisa masak sempurna sekarang.
Agaknya adagium yang mengatakan bahwa inilah hikmahnya Allah menciptakan dua telinga dan satu mulut berlaku di sini. Memang benar, ada kalanya banyak mendengarkan dahulu sebelum berbicara akan membuat perasaan-perasaan anak keluar dan terpuaskan. Setelah itu tampaknya memberikan sedikit komentar akan mampu membuka hatinya karena perasaannya telah terlebih dahulu terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar