Empati Menimbulkan Peduli
Empati
adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi
dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Memposisikan
keadaan ini pada anak jelas bukah sesuatu yang mudah sebab seperti diketahui
jika pada masa perkembangan anak-anak usia dini lebih memiliki self-egocentric (rasa keegoan) yang
lebih tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa empati tidak bisa dikenalkan dan
diajarkan dengan kegiatan yang sederhana untuk anak.
Sebenarnya
sejak bayi rasa empati itu sudah muncul dengan sendirinya. Bayi yang tadinya
diam akan ikut menangis ketika mendengar tangisan dari bayi yang lain. Dan
sebaliknya, bayi juga akan ikut tersenyum dan tergelak apabila ada orang
didekatnya yang mencoba bercanda dan tertawa kepadanya.
Sementara
itu anak-anak yang berusia tiga tahun akan menunjukkan perasaannya dengan
memeluk teman mereka, atau orang tua mereka jika orang-orang yang dekat dengan
kehidupannya itu terlihat murung dan sedih. Bahkan seorang anak yang empatinya
sudah terasah malah akan membimbingnya untuk selalu berperilaku dan bertindak
secara positif. Mereka akan menimbang-nimbang perasaannya, apakah aksi atau
kegiatan yang dilakukannya tersebut akan membuat teman atau orang lain sedih
ataukah bahagia. Mereka paham jika berbuat sesuatu yang salah akan membuat
orang lain menjadi menderita atau tidak bahagia.
Kita
dapat membimbing rasa empati anak dengan cara membantu mengenali perasaan orang
lain. Misalkan ada teman yang menangis karena terjatuh.
Maka tanyakan pada anak, “Mengapa Aldo menangis?”, “Kalau kamu yang terjatuh
bagaimana perasaanmu?”, “Sakit, kan?” Atau jika anak kita merebut mainan
temannya, kita bisa menanyakan, “Seandainya itu mainanmu, mau tidak direbut
sama temanmu?”
Namun tentu saja,
membimbing anak untuk mengetahui perasaan orang lain tetap dengan keadaan
tenang dan perhatian. Jika dalam keadaan marah atau menghakimi, anak-anak juga
tidak akan membuka hatinya. Karena mereka akan pula beralasan bahwa apa yang
dilakukannya itu benar. Misalnya saja anak bisa menjawab, “Salahnya sendiri,
Aldo lari-lari sampai kesandung batu.” Atau, “Habis dia dulu juga pernah
merebut mainanku.”
Selain membantu mengenali
perasaan orang lain, kita dapat juga melakukan hal-hal sebagai berikut untuk
membuat anak bisa berempati pada orang lain.
·
Membaca buku cerita dan
menanyakan keadaan-keadaan tokoh yang ada di cerita tersebut. Misalnya saja
mengapa si A bersedih, mengapa si B gembira, dan beritahukan bahwa
perasaan-perasaan tersebut juga bisa dimiliki oleh anak kita.
·
Tayangan di media tentang
bencana alam, seperti gunung meletus dan gempa bumi, serta anak-anak Palestina
dengan segala gambaran tentang pengungsinya bisa membangkitkan empati anak
apabila kita menjelaskannya.
·
Menjenguk teman anak atau
orang yang sakit di rumahnya juga akan membuat anak merasa terpancing untuk
ikut merasakan perasaan si penderita.
·
Bila anak bercerita kalau
dirinya diperlakukan tidak menyenangkan oleh temannya, misalkan dia merasa
didorong hingga terjatuh, katakan bahwa temannya itu mungkin tidak sengaja
melakukannya, “Kadang-kadang adik juga secara tidak sengaja menjatuhkan gelas,
kan?” Itu akan membuat anak berpikiran positif dan tidak menyimpan bibit dendam
dan permusuhan pada orang lain.
·
Terbukalah pada perbedaan.
Jika anak menanyakan mengapa ada orang berkulit hitam atau berkulit putih,
katakan jika Allah Yang Maha Kuasa itu berkehendak menciptakan berbagai ciptaan
yang dikehendaki-Nya, selanjutnya sebagai manusia kita tidak bisa
membeda-bedakan antara teman satu dan yang lainnya.
Empati atau kesediaan
untuk memahami perasaan orang lain biasanya akan bermuara pada aksi kepedulian,
baik berupa ucapan maupun aksi kegiatan. Dan rasa empati tersebut adalah perasaan yang bersumber dari hati yang
jernih. Sedangkan anak-anak adalah pemilik hati yang jernih, maka sebenarnya
yang mencemarinya adalah lingkungan sekitarnya. Ah, semoga saja bukan kita,
orangtuanya ini.
Sebuah
kisah tentang empati dan kepedulian dapat kita rasakan di sini, pada sebuah
cuplikan hidup Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah Saw. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ketika Hasan dan Husen sakit, Rasulullah Saw
berkata, “Wahai Abul Hasan, alangkah baiknya kalau engkau bernadzar untuk
(kesembuhan) anakmu berdua!”. Maka bernadzarlah Ali dan Fatimah (orangtua Hasan
dan Husen), juga Fidhah (pembantu mereka), bahwa mereka akan berpuasa tiga hari
berturut-turut jika Allah Swt menyembuhkan kedua anaknya. Saat menjelang
berpuasa, Ali meminjam 3 sha’ tepung gandum dari Syam’un Khaibari, seorang
Yahudi. Kemudian Fatimah memasak satu sha’ gandum menjadi lima potong roti
untuk lima orang anggota keluarganya. Ketika roti itu sudah terhidang di
hadapan mereka menjelang berbuka puasa, seorang pengemis berhenti di depan
pintu rumah Ali, “Assalamualaikum, saya ini seorang muslim yang miskin. Berilah saya makanan, mudah-mudahan Allah Swt memberikan
makanan pada kalian dari hidangan surga.” Lalu Ali berikan makanan buka
puasanya untuk mengutamakan pengemis itu. Malam itu mereka tidur dengan tidak
makan apa-apa selain minum air. Kemudian mereka melanjutkan puasa (untuk hari
kedua). Sore harinya ketika mereka menyiapkan makanan untuk berbuka, seorang
anak yatim berhenti di depan rumah. Anak yatim itu menyampaikan keluhannya yang
sama dengan seorang pengemis di hari pertama. Maka Ali memberikan hidangan berbuka
puasa mereka untuk mengutamakan anak yatim yang menunggu di depan pintu.
Selanjutnya pada hari yang ketiga, saat menjelang berbuka puasa, datang tawanan
di depan pintu. Dia menyampaikan keluhannya seperti seorang pengemis dan anak
yatim pada hari sebelumnya. Maka keluarga Ali memberikan makanan berbuka puasa
untuk mengutamakan tawanan tersebut. Setelah selesai puasa tiga hari, Ali
membawa Hasan dan Husen menemui Rasulullah Saw. Beliau melihat mereka menggigil
seperti anak ayam karena lapar. Nabi bersabda, “Alangkah pedihnya aku melihat
kalian.” Nabi kemudian mengajak menantu dan kedua cucunya kembali ke rumah
mereka. Beliau melihat Fatimah di mihrabnya. Perutnya melekat pada punggungnya
dan matanya cekung. Rasul yang mulia sangat sedih melihatnya. Saat itulah
Malaikat Jibril turun, ia berkata, “Ambillah Muhammad.” Kemudian Jibril membawa
pesan wahyu dari Allah Swt kepada nabi untuk menghormati perilaku keluarga nabi
yang indah dengan membacakan Surat Al-Insaan ayat 5-11.
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum
dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air
(dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat
mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu
hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari
itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Tuhan memelihara mereka
dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan
kegembiraan hati. Q.S Al-Insaan (76): 5-11
Mengembangkan
empati sejalan pula dengan mengenalkan keikhlasan pada anak. Konsep ikhlas
memang kadang belum dimengerti oleh anak. Mereka bisa saja beranggapan bahwa
jika memberi sesuatu akan mendapat imbalan sesuatu pula. Seperti jika memberi
uang pada penjual, maka mereka akan diberi jajan. Jika memberi adik permen,
maka akan mendapat pujian dari ibu. Tapi jika keikhlasan dimaknai melakukan
sesuatu tanpa pamrih dan hanya karena Allah semata, lalu dijelaskan dengan
bahasa yang sederhana. Insayaallah anak lama kelamaan akan mengerti juga.
Misalnya, “Kalau adik memberikan sumbangan di kotak amal, nanti Allah sendiri
yang akan melihat. Allah juga bisa mengetahui yang ada di dalam hati.”
Namun
kadang kala muncul kendala-kendala saat mengenalkan empati pada anak. Kendala
tersebut harus diidentifikasi dan diberikan solusi supaya karakter kepedulian
itu melekat dan tidak hanya sebuah nasehat dan anjuran yang masuk di telinga
tapi tidak menancap di dada. Kendala-kendala
itu antara lain:
· Waktu yang tidak tepat saat menyampaikan. Jika anak masih dalam keadaan
marah dan jengkel, biarkan emosi-emosi negatif itu pergi terlebih dahulu
sebelum mengenalkan empati dan rasa kepedulian. Waktu yang tepat adalah saat
anak dalam emosi yang tenang dan suasana yang nyaman. Sebelum tidur dan sesudah
makan bersama adalah waktu yang tepat untuk menceritakan kisah.
· Prasangka buruk. Jika kita sering mempunyai prasangka buruk pada orang
lain dan sempat terdengar oleh anak, bisa jadi anak akan merekamnya dan
menjadikan berprasangka buruk pada orang lain itu wajar adanya. Apalagi
berprasangka buruk pada anak sendiri. Jadi sebisa mungkin tidak membicarakan
berbagai prasangka pada orang lain terhadap anak.
· Kesombongan. Rasa percaya diri tidak sama dengan kesombongan. Karena
sombong itu merendahkan orang lain dan tidak mau menerima kebenaran. Rasa
sombong biasa terekam anak dari sekelilingnya. Bisa juga dari sinetron yang
ditonton orangtuanya. Oleh karenanya, hindari kesombongan atau sesuatu yang
dapat menjadi contoh kesombongan karena bisa menghalangi kepedulian.
0 komentar:
Posting Komentar